Pada setting pendidikan formal, apapun jenjangnya, kualitas sang murid manifes dengan pemaknaan yang keliru. Mengapa keliru? Kualitas keterdidikan seorang siswa harus diukur dengan angka (indeks). Dengan begitu, sang murid akan bersikap dan mengambil tindakan apa saja boleh guna menyesuaikan diri dengan indeks itu
Bagi suatu negara, pendidikan menjadi salah satu kendaraan yang dapat mengantarkan rakyatnya menuju bangsa yang kuat di berbagai lini kehidupan. Pada saat yang sama, pendidikan juga menjadi ruang ilmiah tempat mencari solusi sekaligus penemu solusi atas penyakit-penyakit sosial, misalnya kekerasan, terutama di negara yang didominasi warga yang terbelakang secara ekonomi, karena bagaimanapun, kemakmuran (baca: ekonomi) adalah satu di antara beberapa alasan terjadi atau tidaknya penyakit-penyakit itu.
Menyadari besarnya peran pendidikan untuk memperkuat daya saing bangsa, negara-negara di dunia tak tanggung-tanggung dalam menyediakan pengganggaran demi penyelenggaraan dan sistem edukasi yang lebih baik, entah itu negara maju atau berkembang.
Pemerintah RI menganggarkan 20 persen budget dari APBN dan APBD untuk penyelenggaraan pendidikan termasuk untuk gaji guru, dana alokasi pendidikan di luar gaji, tunjangan gaji guru dan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Bila dihitung-hitung, dari 20 persen anggaran pendidikan itu, 80 persen terpakai untuk untuk gaji, tunjangan, dan alokasi tersebut.
Tengoklah tetangga kita Malaysia. Sebagai perbandingan, di negara yang jumlah penduduknya delapan kali lebih kecil dibanding penduduk Indonesia itu, jumlah anggaran pendidikannya (data tahun 2010) mencapai 25,52 miliar ringgit atau sekitar Rp75 triliun. Ini tidak termasuk gaji guru. Besaran muatan itu tentu saja adalah bukti bahwa urusan pendidikan bukanlah anak tiri dan main-main dalam rumah tangga negara. Namun, halnya akan beda jika kita membicarakan rumah tangga Ibu Pertiwi.
Persoalan pendidikan di negeri ini bukanlah persoalan "kemarin sore". Lihat saja, penelantarananak usia sekolah, biaya pendidikan yang ogah memihak siswa tak mampu, dan kasus putus sekolah belum mendapat prioritas penyelesaian bahkan menjelang usia 67 tahun indonesia merdeka.
Puluhan triliun rupiah dialokasikan tiap tahun anggaran namun kualitas yang membanggakan tak kunjung diperoleh. Pula, anggaran itu senyatanya kurang mengakomodasi kebutuhan pendidikan anak-anak dari kalangan akar rumput.
Pendidikan yang mahal memaksa mereka lebih memilih "bersekolah" di belantara jalan raya. Yang lebih menyedihkan, pembangunan dan pemberian fasilitas bagi wakil rakyat yang seharusnya memikirkan nasib orang kecil digencarkan saat bangunan sekolah bocor dan roboh di mana-mana sehingga para siswa harus mengalah belajar di tempat yang tak layak.
Yang ada, pemerintah justru menggalakkan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang pada hakikatnya justru mengabaikan wawasan kebangsaan dan menguntungkan asing. Sebentuk diskriminasi ini sangat bertentangan dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 2. Alhasil jurang yang memisahkan para siswa kaya dan miskin kian lebar.
Kualitas Guru
Imbas dari perlakuan yang cenderung abai atas nasib pendidikan juga menyapu para tenaga pendidik. Dari 2,92 juta guru, hanya 51,31 persen atau 1,5 juta yang berpendidikan minimal S1, selebihnya belum berpendidikan S1.
Selain jenjang pendidikan yang belum memadai, kompetensi guru juga masih bermasalah. Saat dilakukan tes terhadap guru semua bidang studi, rata-rata tak sampai 50 persen soal yang bisa dikerjakan. Tidak ada guru yang meraih nilai 80, bahkan ada guru yang meraih nilai terendah, 1.
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), pemerintah mengakui memang tidak pernah menyelenggarakn pelatihan dan pendidikan yang seharusnya secara periodik diadakan demi meningkatkan kompetensi guru.
Hal lain, tenaga pendidik di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini tak lepas dari komoditi politik para penggila kekuasaan. Jumlah 2,92 juta kepala itu dipandang sebagai kekuatan politik yang besar. Karena itu, dalam kebijakan soal guru, kepentingan politik bermain yang ujung-ujungnya demi mendongkrak citra "penggede" di pusat dan daerah serta partai politik di DPR.
Mantan anggota komisi X DPR, Heri Akhmadi mengatakan, sebagian anggaran pendidikan tersedot untuk gaji dan tunjangan guru. Di tahun 2011, tercatat sekitar 56 persen anggaran pendidikan nasional untuk gaji dan tunjangan guru. Yang dititikberatkan adalah kesejahteraan mereka, sementara kualitas mereka tertinggal. (Kompas 7 Maret 2012)
Belukaran pola pikir yang sebagian besar dianut dalam psikologi pengguruan kita adalah dijadikannya profesi guru sebagai mata pencaharian sehingga banyak dibidik keluaran pendidikan tinggi secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan kualitas personal. Ini kemudian membuat pola pikir kewajiban mendidik telah teredusir ke wilayah strategi bertahan hidup. Tendensi ini semakin menjadi-jadi usai pemerintah menetapkan kebijakan tunjangan sertifikasi bagi para guru. Itulah mengapa penulis berani mengatakan ruh mendidik "dari hati" belum dianut oleh semua pahlawan tanpa tanda jasa negeri ini.
Bilamana di runut hingga ke akar masalahnya, Anda kemungkinan akan sepakat dengan saya bahwa pola pikir seperti itu berasal dan berawal dari sistem pendidikan yang membimbing siswa menjadi orang-orang pragmatis.
Namun, tulisan ini tidak bermaksud menyerang dan meyalahkan tenaga pendidik karena kualitas mereka yang masih rendah. Tapi sebaliknya guru mesti tersadarkan sebab bagaimanapun kualitas mereka menentukan mutu siswa yang mereka didik.
Seputar Sistem
"Mengajari anak-anak berhitung memang bagus, tapi yang terbaik adalah mengajari mereka apa yang perlu diperhitungkan". Ungkapan Bob Talbert menyadarkan kita betapa tidak efektifnya sistem pendidikan kolonial yang dianut selama ini. Sistem semestinya mengajarkan siswa bagaimana cara berpikir yang baik dan benar, bukan mengajarkan mereka untuk mendapat skor penuh.
Pada setting pendidikan formal, apapun jenjangnya, kualitas sang murid manifes dengan pemaknaan yang keliru. Mengapa keliru? Kualitas keterdidikan seorang siswa harus diukur dengan angka (indeks). Dengan begitu, sang murid akan bersikap dan mengambil tindakan apa saja boleh guna menyesuaikan diri dengan indeks itu.
Yang lebih parah lagi, anak pintar selalu terasosiasi dengan mereka yang meraih angka penuh pada setiap mata pelajaran yang diajarkan. Maka praktis seorang siswa akan terus merasa butuh untuk angka penuh itu.
Mentalitas seperti ini tiap tahun selalu memakan korban saat Ujian Nasional (UN) diselenggarakan. Kecurangan demi kecurangan dijadikan solusi untuk mencapai target indeks yang dipatok. Para siswa menjadi korban pengajaran yang mementingkan kuantitas (nilai) daripada kualitas (mutu humanitas). Seperti halnya SBI dan RSBI terhadap pasal 31 ayat 1 UUD 1945, sistem yang enggan memihak kualitas murid berseberangan dengan tujuan pencerdasan kehidupan bangsa.
Jangan heran bila di negeri ini banyak koruptor yang pada dasarnya adalah manusia yang pandai bermain-main angka. Pendidikan yang menuhankan tingginya capaian indeksikal hanya melahirkan manusia-manusia yang mengukur kesuksesan mereka dengan uang dan kekuasaan. Mereka tiba-tiba buta saat diperhadapkan pada ketimpangan-ketimpangan sosial. Alih-alih mencari solusi, mereka justru saling lempar tanggung jawab lalu mencari alasan untuk membenarkan diri.
Akhirnya, kita mesti mengajukan pertanyaan yang paling tidak kita sendiri yang menjawabnya. Pendidikan di negeri ini sebenarnya untuk siapa? Apakah untuk para penggila kekuasaan, untuk para lulusan pendidikan tinggi yang mengejar penghasilan, ataukah anak negeri yang tak terjamah pendidikan dasar? Pada kenyataannya, bangsa ini sekarang tidak mampu menentukan arah pendidikannya. [Tribun Opini]