SYL adalah pemenang pilgub pada pemilukada sebelumnya, dan secara administratif masih bisa mencalonkan diri kembali. Sedangkan IAS merupakan Walikota Makassar dua periode yang secara adiministratif tidak dimungkinkan lagi mncalonkan pada pemilhan walikota berikutnya, namun memiliki kesempatan pertama pada pilgub yang akan datang dengan kendaraan partai Demokrat yang dipimpinnya untuk wilayah Sulsel.
Masih ingat dengan pernyataan Presiden SBY ketika memberi kuliah umum pada acara Indonesian Young Leaders Forum pada tanggal 9 Juni 2011 lalu di Hotel Ritz Carlton, Pacific Place Jakarta. Berikut penulis tuliskan kembali: "Nama saya SBY, jabatan saya presiden ke enam Republik Indonesia hasil pemilu 2004 dan 2009. Saya bukan Capres 2014. Istri dan anak-anak saya juga bukan Capres 2014."
Apa makna dari pernyataan ini bagi publik Indonesia. Lalu apakah pernyataan ini merupakan indikasi kuat kalau era seorang SBY sudah berakhir di pentas politik nasional. Mengingat secara konstitusional SBY sudah tidak bersyarat lagi mengajukan diri sebagai calon presiden pada pemilu 2014 mendatang.
Sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang sebatas melihat kontstalasi politik nasional melalui media, tentu pernyataan Presiden SBY semacam refresh yang sedari awal dibutuhkan dari tumpukan beberapa pemberitaan negatif yang juga di konsumsi melalui media massa utamanya saluran informasi pemberitaan melalui televisi. Namun tak sedikit juga yang melihat kalau pernyataan itu tak lebih sebagai kamuflase belaka.
Pertama, dalam watak politik manusia indonesia dewasa ini semakin lihai memanfaatkan forum untuk mencuci pakaian kotor yang telah di pakai di forum lain. Kita tahu kalau dalam sepekan ini media massa ramai-ramai mengangkat kasus mantan bendahara umum partai Demokrat yang menjadi partai pengusung Presdien SBY atau sebutan lainnya partai penguasa saat sekarang ini.
Karena dalam forum politik pemerintahan sebuah pernyataan yang sama yakni yang diucapkan presiden SBY sebagaimana yang di kutip pada awal tulisan ini hanya menjadi basih jika diucapkan, mengingat massa forum dalam hal ini penuh dengan kesadaran konstitusional. Jadi sederhananya, pernyataan SBY yang tak ingin maju lagi sebagai capres pada 2014 sama sekali tidak berbobot karena secara administratif memang tidak dibolehkan lagi.
Ada aturan yang menghalangi, sehingga pernyataan itu keluar tanpa pertimbangan apapun. Kalau seandainya kalimat itu diucapakan menjelang pemilu 2009 kemarin, maka maknanya menjadi lain, atau kalau saja tidak ada aturan yang menghalangi seseorang untuk maju sebagai Capres untuk ke tiga kalinya, apakah SBY akan mengucapkan hal yang sama di depan publik?
Kedua. Tentu ada kesadaran dari sang pengucap pesan (Presiden SBY) dalam melontarkan kalimat pamungkas tersebut, yakni sebagai peredam isu dari menguatnya sinyal akan kasus korupsi yang menimpah salah satu kader partai Demokrat.
Kasus korupsi memang tamparan telak bagi bagi partai berlambang bintang mercy ini mengingat isu kampanye pada pemilu 2009 lalu yang menolak tegas tentang adanya praktik korupsi. Dan sekarang realitas tersebut tengah dihadapi oleh partai di mana indikasi aktornya adalah kader sendiri.
Membuat Polemik
Tentu diperlukan senjata ampuh dalam meredam isu yang masih panas ini, jika tak bisa di redam maka setidaknya mengimbangi gaung pemberitaannya di media, dan presiden SBY tentu sebagai seorang komunikator massa yang handal untuk urusan seperti ini. Hingga tulisan ini di garap, beberapa pakar di televisi masih saling berdebat terkait muatan dari pernyataan presiden SBY tersebut. Hal ini adalah sedikit bukti kalau membuat polemik di media adalah cara ampuh dalam mengalihkan, menutupi, atau menandingi isu yang sementara hangat diperbincangkan.
Sekali lagi Presiden SBY memang menegaskan kalau dirinya, istri dan anak-anaknya tidak akan maju pada Pilpres 2014 nanti, bahkan tidak akan mengusung seseorang (Mungkinkah?). Membaca hal ini selain menggunakan asmusi yang sudah dijelaskan sebelumnya tentu masih bisa di telaah dengan persfektif lainnya.
Ketidakinginan SBY untuk tidak maju lagi tentu karena sudah jatuh tempo dari aturan yang ada, sedangkan sinyal atas tidak majunya istri dan anak-anaknya meski belum ada pembatasan secara aturan tapi SBY pasti tak ingin bermain dadu dengan mempertaruhkan nilai etika politik yang sudah di tanam yang akan menjadi pupuk bagi keberadaan partai Demokrat yang didirikannya (paling tidak sampai 2014) serta pertimbangan atas kapasitas atas istri dan anak-anaknya untuk maju sebagai Capres 2014 nanti.
Sejauh ini SBY merupakan satu-satunya presiden yang dalam sejarah kepresidenan republik ini yang belum pernah dilengserkan, setidaknya untuk masa jabatan awal kepresidenannya, hal ini sedikit membuktikan kalau kemampuan politik SBY mampu menyeimbangkan beberapa elemen kekuatan politik yang selama ini bermain. Sikap politik jalan tengah ini semakin mengokohkan SBY sebagai seorang komunikator politik yang rela membakar dirinya sendiri untuk menjaga kestabilan suhu politik agar tidak kebablasan atau mengundang kelompok lain untuk mengamuk.
Kita tahu beberapa isu besar dan seksi seringkali menimpa SBY secara pribadi maupun kelompok (Partai Demokrat), sebut misalnya buku kontroversial Gurita Cikeas, Kasus Bank Century, gugatan para pemimpin agama yang menyebut SBY pembohong, bahkan pada saat isu ini merebak massa rakyat sedang berkecamuk di timur tengah yang berhasil menumbangkan Presiden Ben Ali di Tunisia, dan yang terbaru kasus Muhamad Nazaruddin.
Semua itu tentu merupakan pemantik isu untuk dijadikan jembatan dalam melengserkan sebuah kepemimpinan. Namun semua isu itu kembali tertutupi dengan isu-isu lainnya.
Beberapa orang menyebutnya sebagai politik curhat SBY, dan itu memang ampuh untuk meredam angin badai sekalipun, di era keterbukaan dan kebebesan informasi publik dewasa ini tampaknya memang dipahami secara mafhum oleh SBY, kalau kesadaran publik yang di bentuk oleh informasi media massa sungguhlah amat mudah untuk di rubah dan diarahkan untuk mengikuti arah sang komunikator (penyampai pesan).
Pemimpin Sulsel
Realitas di atas tentu sedikit banyaknya berpengaruh pada suhu politik di daerah, salah satunya Provinsi Sulawesi Selatan yang sebentar lagi akan menggelar sebuah pemilu kepala daerah tingkat satu. Walau hal itu masih menunggu beberapa bulan tapi isu pasangan calon jauh hari sudah saling bertebaran, utamanya di media massa. Bahkan IAS (Ilham Arif Sirajuddin) sudah mempublikasikan diri lengkap dengan pendampingnya dan siap menantang SYL (Syahrul Yasin Limpo) di Pilgub.
Kedua nama ini jika dihubungkan dengan pernyataan presiden SBY tentu akan sedikit menarik, manakala kedua tokoh ini akan mengeluarkan pernyataan yang sama (meski itu mustahil).
SYL adalah pemenang pilgub pada pemilukada sebelumnya, dan secara administratif masih bisa mencalonkan diri kembali. Sedangkan IAS merupakan Walikota Makassar dua periode yang secara adiministratif tidak dimungkinkan lagi mncalonkan pada pemilhan walikota berikutnya, namun memiliki kesempatan pertama pada pilgub yang akan datang dengan kendaraan partai Demokrat yang dipimpinnya untuk wilayah Sulsel.
Namun apakah kedua tokoh dan pemimpin daerah serta ketua DPD I untuk masing-masing dua partai besar ini memiliki kesanggupan untuk mengucapakan di depan publik kalimat yang sama dengan SBY. Jawabannya tentu saja tidak. Peluang yang saat ini dimiliki tentulah teramat naif untuk dilewatkan, perpindahan IAS dari Golkar ke Demokrat adalah suatu jalan untuk menapaki predikat orang nomor wahid di Sulsel ini sebagaimana SYL yang tentu tak mau undur diri lebih awal jika kesempatan dan peluang itu masih ada.
Nah, para pemilih di Sulawesi Selatan, bersiap-sipalah untuk memilih kembali nama-nama (calon) pemimpin yang akan dikejar masa tempo dari kepemimpinannya. [Tribun Opini]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar